Senin, 19 Oktober 2009

Perkembangan Bahasa Indonesia

ARTIKEL

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

1. Pendahuluan

1.1 Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau, salah satu bahasa daerah yang berada di wilayah Sumatera. Bahasa Melayu-Riau inilah yang diangkat oleh para pemuda pada “Konggres Pemoeda”, 28 Oktober 1928, di Solo, menjadi bahasa Indonesia. Pengangkatan dan penamaan bahasaMelayu-Riau menjadi bahasa Indonesia oleh para pemuda pada saat itu lebih “bersifat politis” daripada “bersifat linguistis”. Tujuannya ialah ingin mempersatukan para pemuda Indonesia, alih-alih disebut bangsa Indonesia. Ketika itu, yang mengikuti “Kongres Pemoeda” adalah wakil-wakil pemuda Indonesia dari Jong Jawa, Jong Sunda, Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong Selebes. Jadi, secara linguistis, yang dinamakan bahasa Indonesia saat itu sebenarnya adalah bahasaMelayu. Ciri-ciri kebahasaannya tidak berbeda dengan bahasa Melayu. Namun, untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, para pemuda Indonesia pada saat itu “secara politis” menyebutkan bahasa Melayu-iau menjadi bahasa Indonesia. Nama bahasa Indonesialah yang dianggap bisa memancarkan inspirasi dan semangat nasionalisme, bukan nama bahasa Melayu yang berbau kedaerahan.

Ikrar yang dikenal dengan nama “Soempah Pemoeda” ini butir ketigaberbunyi “Kami poetera-poeteri Indonesia, mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia” (Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia). Ikrar yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia ini juga memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif, mutlak diperlukan setiap bangsa. Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa tidak mungkin dapat menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu akhirnya akan lenyap ditelan masa. Jadi, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa.

Bahasa Indonesia Pada Masa Penjajahan

bahasa Indonesia tidak dihargai dengan sepantasnya walaupun dunia pergerakan politik semakin banyak memakai bahasa Indonesia. Dunia ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan belum lagi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Kalau ingin memperbaiki nasib, bukan bahasa Indonesia yang digunakan,melainkan bahasa Belanda sebagai bahasa kaum penjajah. Bahasa pengantar untuk ilmu pengetahuan adalah bahasa Belanda. Bahasa Belanda benar-benar bisa menentukan status pemakainya. Akibatnya, pemakai bahasa Indonesia merasa apatis atau masa bodoh melihat kekangan-kekangan yang hebat terhadap bahasa Indonesia ketika itu. Seolah-olah bahasa Indonesia tidak akan mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Kaum penajajah ketika itu memang menginginkan seperti itu sehingga pemakai bahasa Indonesia merasa diri tidak berguna mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia. Orang Indonesia ketika itu merasa lebih terpelajar dan terhormat apabila menguasai bahasa Belanda dengan baik. Orang Indonesia tidak merasa malu apabila tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, tetapi akan merasa ada yang kurang apabila tidak menguasai bahasa Belanda dengan baik. Akibatnya, tidak banyak orang Indonesia yang mau mempelajari bahasa Indonesia dengan serius dan cukup menguasai bahasa Indonesia ala kadarnya untuk komunikasi umum. Akhirnya, banyak pula otang Indonesia yang tidak mahir berbahasa Indonesia tetapi, menguasai dan sangat mahir berbahasa Belanda.

Pada zaman pendudukan Jepang, bahasa Belanda dilarang pemakaiannya dan harus digani dengan bahasa Indonesia. Ketika itu, sebagian orang masih meragukan kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk kaum cendekiawannya. Tetapi, karena dipaksa oleh pemerintah pendudukan Jepang dan didorong oleh pemuda-pemuda Indonesia, orang-orang Indonesia terpanksa menggunakan bahasa Indonesia untuk setiap pembicaraan. Bahasa Indonesia mulai populer dan mulai diperhatikan para pemakainya dengan baik. Sesudah itu terbuktilah bahwa bahasa Indonesia tidak kurang mutunya dibanding dengan bahasa-bahasa asing lainnya. Bahasa Indonesia pun mulai mengalami perkembangan sesuai dengan kodratnya sebagai bahasa yang hidup.

2. Perkembangan Bahasa Indonesia

2.1 Penelusuran Perkembangan Bahasa Indonesia

Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:

(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),

(2) Talang Tuwo (684 Masehi),

(3) Kota Kapur (686 Masehi),

(4) Karang Brahi (686 Masehi),

(5) Gandasuli (832 Masehi),

(6) Bogor (942 Masehi), dan

(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)

Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.

- Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.

- Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja.

- Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.

2.2 Jati Diri Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia memiliki ciri umum dan kaidah-kaidah pokok yang berbeda dengan bahasa asing ataupun bahasa daerah, dengan ciri pokok inilah yang menjadi jati diri bahasa Indonesia. Ciri umum dan kaidah pokok yang dimaksud antara lain sebagai berikut.

  1. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis kelamin.

Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita. Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina. Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta) untuk menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.

Contoh:

Bahasa Inggris

: lion – lioness, host – hostess, steward –stewardness.

Bahasa Arab

: muslimi – muslimat, mukminin – mukminat, hadirin – hadirat

Bahasa Sanskerta

: siswa – siswi, putera – puteri, dewa – dewi.

  1. Bahasa Indonesia mempergunakan kata tertentu untuk menunjukkan jamak.

Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jamak. Sistem ini pulalah yang membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa sing lainnya, misalnya bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain. Untuk menyatakan jamak, antara lain, mempergunakan kata segala, seluruh, para, semua, sebagian, beberapa, dan kata bilangan dua, tiga, empat, dan seterusnya; misalnya: segala urusan, seluruh tenaga, para siswa, semua persoalan, sebagian pendapat, beberapa anggota, dua teman, tiga pohon, empat mobil.

Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men ketika menyatakan jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk bukus (jamak dari kata buku), mahasiswas (jamak dari mahasiswa), dan penas (jamak dari pena), misalnya, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia karena memang bukan kaidah bahasa Indonesia.

c. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan kata untuk menyatakan waktu.

Kaidah pokok inilah yang juga membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa asing lainnya. Dalam bahasa Inggris,misalnya, kita temukan bentuk kata eat (untuk menyatakan sekarang), eating (untuk menyatakan sedang), dan eaten (untuk menyatakan waktu lampau). Bentukan kata seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Bentuk kata makan tidak pernah mengalamai perubahan bentuk yang terkait dengan waktu, misalnya menjadi makaning (untuk menyatakan waktu sedang) atau makaned (untuk menyatakan waktu lampau). Untuk menyatakan waktu, cukup ditambah kata-kaa aspek akan, sedang, telah, sudah atau kata keterangan waktu kemarin, seminggu yang lalu, hari ini, tahun ini, besok, besok lusa, bulan depan, dan sebagainya.

d. Susunan kelompok kata dalam bahasa Indonesia biasanya mempergunakan hukum D-M (hukum Diterangkan – Menerangkan)

yaitu kata yang diterangkan (D) di muka yang menerangkan (M). Kelompok kata rumah sakit, jam tangan, mobil mewah, baju renang, kamar rias merupakan contoh hukum D-M ini. Oleh karena itu, setiap kelompok kata yang diserap dari bahasa asing harus disesuaikan dengan kaidah ini. Dengan demikian, bentuk-bentuk Garuda Hotel, Bali Plaza, International Tailor, Marah Halim Cup, Jakarta Shopping Center yang tidak sesuai dengan hukum D-M harus disesuaikan menjadi Hotel Garuda, Plaza Bali, Penjahit Internasional, Piala Marah Halim, dan Pusat Perbelanjaan Jakarta. Saya yakin, penyesuaian nama ini tidak akan menurunkan prestise atau derajat perusahaan atau kegiatan tersebut. Sebaliknya, hal inilah yang disebut dengan penggunaan bahasa Indonesia yang taat asas, baik dan benar.

e. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku

Yaitu lafal yang tidak dipengaruhi oleh lafal asing dan atau lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa Indonesia lisan dan lewat lafalnya dapat diduga atau dapat diketahui dari suku mana ia berasal,maka lafal orang itu bukanlah lafal bahasa Indonesia baku. Dengan kata lain, kata-kata bahasa Indonesia harus bebas dari pengaruh lafal asig dan/atau lafal daerah. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar pemakai bahasa Indonesia adalah sampai saat ini belum disusun kamus lafal bahasa Indonesia yang lengkap. Akibatnya, sampai sekarang belum adapatokan yang jelas untuk pelafalan kata peka, teras, perang, sistem, elang. Tetapi, pengucapan semangkin (untuk semakin), mengharapken (untuk mengharapkan), semua (untuk semua), mengapa (untuk mengapa), thenthu (untuk tentu), therima kaseh (untuk terima kasih), mBandung (untuki Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal baku bahasa Indonesia.

3. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

3.1 Konsep Dasar Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa

Bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.

3.2 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

3.2.1 Sebagai Bahasa Nasional

Sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang.

“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya antardaerah.

Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.

Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.

Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.

Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

3.2.2 Sebagai Bahasa Negara atau Resmi

Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia.

Secara terperinci perbedaan ranah pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat pada perbandingan berikut ini.

Bahasa Melayu

Bahasa Indonesia

a. Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda, terutama untuk tingkat yang dianggap rendah.

b. Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan atau menurut sistem pemerintah Hindia Belanda.

c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola oleh jawatan pemerintah Hindia Belanda.

a. Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

b. Bahasa yang digunakan dalam penerbitan-penerbitan yang bertuju-an untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia baik berupa:

1) bahasa pers,

2) bahasa dalam hasil sastra.

Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu, (2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu.

Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai

(1) bahasa resmi kenegaraan,

(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,

(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan

(4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.

Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.

Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.

Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.

4. Penutup

Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Usaha-usaha ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan persaingan di segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia.

Sumber :

http://mulich-m.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar